IndeksMagazine

Film, Moral dan Mental Bangsa Indonesia

  • Bagikan

Pandemi Covid-19 yang melanda dunia dan Indonesia saat ini berdampak pada semua sektor kehidupan termasuk, sektor perfilman Indonesia.

Hal ini disampaikan oleh para pelaku industri perfilman Indonesia (yang mengatasnamakan diri mereka sebagai ‘Insan Film Indonesia’) melalui surat terbuka yang ditujukan kepada Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo pada tanggal 05 Maret 2021 dan diunggah oleh berbagai aktor-aktris, sutradara ternama Indonesia di akun media sosial mereka.

Surat tersebut intinya berisi tentang keluhan para pelaku industri perfilman Indonesia yang merasa pemasukan ekonominya berkurang sehingga puluhan ribu pekerjanya kesulitan bertahan hidup di tengah pandemi.

Hal ini disampaikan dengan memberi contoh sepinya kunjungan penonton ke bioskop-bioskop yang ada di seluruh Indonesia dan juga maraknya pembajakan film-film Indonesia secara digital.

Selain itu surat ini juga menyampaikan harapan agar pemerintah Indonesia melalui kementerian yang terkait dengan Industri perfilman di Kabinet Indonesia Maju (Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Badan Usaha Milik Negara, Kementerian Kesehatan), dan Satuan Tugas Covid-19 untuk bisa memberikan bantuan kepada perfilman Indonesia melalui berbagai paket stimulus, subsidi, serta perlindungan hukum dan kesehatan, dan ditutup dengan sebuah tekad:

“Dukungan dari pemerintah akan membuat kami bisa terus bekerja membuat film, menayangkannya, dan memberikan rasa aman ke pentonton untuk kembali ke bioskop. Dengan bantuan pemerintah Indonesia, kami seluruh insan perfilman Indonesia siap mempertahankan dan menyelamatkan perfilman Indonesia. Kami siap menyelamatkan investasi besar identitas budaya Indonesia.”

Berikut ini adalah surat terbuka tersebut:

Ada beberapa hal yang perlu kita cermati bersama dari surat terbuka ini:

Surat tersebut ditujukan kepada sosok personal Presiden Joko Widodo, tetapi penulis surat tidak menyebutkan secara jelas ditulis oleh siapa, hanya menyampaikan ‘Insan Film Indonesia’. Lalu di bawahnya dimasukkan logo-logo dari perkumpulan/organisasi para pelaku industri film tersebut. Apakah perkumpulan/organisasi dapat menulis? Yang dapat menulis adalah orang, manusia, sehingga wajib dicantumkan nama jelas dari orang yang menulis surat tersebut. Kecuali jika “Surat Kaleng” yang memang hanya dimaksudkan untuk meneror seseorang. Ironisnya surat ini diunggah oleh para sutradara dan aktor-aktris ternama Indonesia.

Tembusan yang disampaikan pun kepada Kementerian/institusi, bukan kepada sosok Menteri/pejabat terkait, hanya dua saja yang dituliskan secara jelas sosok pejabatnya, yaitu Menko Kemaritiman dan Investasi dan jajaran kabinet Indonesia Maju (ini pun tidak jelas kepada siapa?)

Jika kita amati isi dari surat tersebut terkandung makna tersirat sebuah mentalitas bangsa yang manja, siap berkarya, mempertahankan, dan menyelamatkan investasi besar identitas budaya Indonesia jika didukung oleh pemerintah melalui paket stimulus, subsidi, serta perlindungan hukum dan kesehatan. Pertanyaannya: Jadi, kalau tidak didukung oleh pemerintah lantas tidak mau berkarya, mempertahankan, dan menyelamatkan investasi besar identitas budaya Indonesia?

Mengapa tidak berkarya dulu saja sebaik-baiknya?

Bukankah irama di alam semesta ini seperti menanam bibit di bumi, jika kita menanam bibit buah yang unggul, merawat dengan tekun dan tabah, serta melakukannya secara konsisten maka tuaian hasil kerja tersebut akan diperoleh sebagai buah akibat unggul yang pasti?

Jika mentalitasnya saja seperti ini bagaimana bisa memiliki energi luhur untuk menghasilkan karya besar yang mencerdaskan dan mengharumkan bangsa Indonesia?

Butuh Teladan Sikap Moral Insan Film

Memang benar film bisa menjadi media pengantar pesan moral bagi masyarakat sekaligus pembentuk identitas budaya Indonesia yang efektif, karena disampaikan dalam sebuah alur cerita audio visual yang mengesankan sehingga mampu membangun secara kuat konstruksi berpikir dari orang yang menontonnya. Namun demikian, pesan moral yang baik seringkali tidak berbanding lurus dengan realitas kehidupan para pelaku industri film tersebut.

Dapat kita lihat dari maraknya kasus penyalahgunaan narkoba, kasus prostitusi, skandal video seks, pelanggaran protokol kesehatan untuk mencegah penularan Covid-19 di kalangan aktor, aktris, sutradara dan kru dalam industri ini, belum lagi gaya hidup glamor, bebas, necis dan ‘hedon’ yang turut menjadi bagian erat dari kehidupan mereka (oknum yang disampaikan di dalam media massa).

Sehingga, jika kita kembali pada isi dari surat terbuka tersebut, hal ini menjadi kontradiktif yang kontraproduktif bagi pemerintah maupun bangsa Indonesia.

Karena bagaimana bisa mempertahankan dan menyelamatkan perfilman Indonesia serta menyelamatkan investasi besar identitas budaya Indonesia, jika sikap hidup para pelaku industrinya sama sekali tidak mencerminkan sebuah budaya luhur bangsa Indonesia?.

Apakah budaya bangsa Indonesia adalah seperti yang dicerminkan dalam realita kehidupan para pelaku industri tersebut? Pasti mayoritas kita menolak untuk mengiyakan, karena sejatinya identitas budaya Indonesia adalah santun, agamais, dan gotong royong.

Tidak ada satu pun agama yang mengajarkan untuk mengonsumsi narkoba, melakukan praktik prostitusi, bergaya hidup glamor dan hedon.

Ajaran agama membimbing umatnya untuk senantiasa menjadi insan yang sadar seutuhnya (menjalankan hidup berdasarkan hukum karma, hukum sebab-akibat), insan yang mampu menjalankan sikap hidup moderat (seimbang) dalam setiap aspek kehidupannya.

Tidak dapat dipungkiri, memang para pelaku industri film ini (khususnya aktor dan aktrisnya) memiliki dampak yang besar terhadap pembentukan mental dan karakter bangsa Indonesia, karena mereka memiliki penggemar yang sangat mengidolakannya (loyal) sehingga cenderung meniru gaya hidup dan perilaku dari idolanya tersebut.

Oleh karena itu jika pelaku industri film ingin benar-benar menjadi penjaga identitas budaya Indonesia, mulai lah dari memberikan teladan sebagai bangsa Indonesia sejati (santun, agamais dan gotong royong) kepada masyarakat.

Dalam hal ini, jika merasa bahwa hidup para pelaku industri perfilman terkena dampak pandemi Covid-19 (khususnya dalam aspek pemenuhan kebutuhan ekonomi), maka seluruh insan film Indonesia bergerak untuk bergotong royong, bahu membahu saling memerhatikan pemenuhan kebutuhan ekonomi sesama pelaku industri ini.
Daripada digunakan untuk bergaya hidup glamor dan ‘hedon’ lebih baik digunakan untuk bergotong royong mempertahankan hidup industri perfilman.

Daripada menguatkan mental “meminta” lebih baik menguatkan mental memberi. Dimulai dari diri sendiri dan kelompok kecil saja terlebih dahulu yang kemudian akan menjadi semakin besar.

Niscaya, pemerintah Indonesia dan seluruh elemen bangsa Indonesia pun tanpa diminta akan turut bersimpati, berempati dan bergotong royong untuk mempertahankan eksistensi dari industri perfilman Indonesia.

Karena seperti itu lah irama di alam semesta raya ini (Sebab-Akibat, menanam-menuai, memberi sukha/kegembiraan dan mencabut dukkha/penderitaan tanpa pamrih, seperti matahari yang memberikan manfaatnya kepada semua makhluk, seperti juga pepohonan yang memberikan seluruh manfaatnya untuk semua makhluk).

Jika hal ini dilakukan, maka akan menjadi keselarasan terhadap isi dari surat terbuka yang ditulis oleh Insan Film Indonesia, yaitu untuk menyelamatkan investasi besar identitas budaya Indonesia.

Karena perubahan besar dimulai dari perubahan kecil, dan semua harus dimulai dari perubahan dalam diri sendiri.

Tidak Perlu Geram

Sejatinya, jika sebuah karya film bisa memberikan inspirasi, kegembiraan, memotivasi, dan perubahan cara berpikir seseorang dari yang buruk menjadi baik, dari yang tidak produktif menjadi produktif, dari putus asa menjadi memiliki asa, dari tidak berdaya menjadi berdaya, maka nilai konstruktif dari film tersebut menjadi tak ternilai.

Sehingga seyogianya insan film Indonesia tidak perlu geram jika karyanya dibajak dan disebarluaskan ke seluruh penjuru dunia di era digital saat ini, karena semakin disebarluaskan (jika karyanya mengandung nilai-nilai konstruktif) berarti semakin banyak juga manfaat yang diberikan dan dirasakan oleh masyarakat secara luas di seluruh penjuru dunia.

Jika masyrakat merasakan manfaat dari karya film ini, maka rezeki (bersifat materi maupun non-materi) pun akan mengikuti secara pasti, ibarat menanam bibit unggul yang terus dipupuk, dirawat secara konsisten dan penuh kegembiraan hati, maka saat waktu dan jodohnya tiba, tuaian buah manis dari bibit unggul tersebut akan diperoleh secara pasti.

Langkah Nyata Pemerintah Dalam Memajukan Industri Film Indonesia
Di sisi lain, sebetulnya, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pun sudah memiliki sebuah Perusahaan Umum (Perum) di bidang perfilman, yang bernama Produksi Film Negara (PFN), hanya saja belum terkelola secara optimal.

Oleh karena itu dalam momentum ini, menteri BUMN Erick Thohir di dalam rapat kerja nasional Himpunan Pengusaha Muda Indonesia, Jumat, 05 Maret 2021 menyampaikan akan mengubah haluan Perum PFN menjadi sebuah lembaga pembiayaan film dan konten, yang mampu berkolaborasi dengan BUMN lain (dalam hal ini Telkom) dan juga para pelaku industri film tanah air agar bisa mendorong produktivitas industri perfilman dan konten di Indonesia serta mampu mengikuti perkembangan kemajuan teknologi (digitalisasi), sehingga bisa bertahan, maju dan berkembang.

Oleh karena itu, jika Insan Film Indonesia bisa menjalankan sikap hidup yang mencerminkan identitas budaya Indonesia tersebut dan pemerintah melalui Perum PFN ini bisa berkolaborasi dengan didasari oleh niatan yang luhur (semata-mata sebagai wujud cinta terhadap Indonesia, semata-mata untuk kemajuan bangsa Indonesia, untuk mencerdaskan bangsa Indonesia, bukan memperkaya diri sendiri dengan uang dan harta benda).

Maka pasti energi yang muncul untuk menghasilkan produk-produk film akan sangat besar dan efektif mewujudkan visi Sumber Daya Manusia Unggul-Indonesia Maju, serta rasa geram karena pembajakan film pun sirna, sebab sumber energi yang mendasari karya tersebut melampaui nominal materi yang tidak hakiki.

Oleh: Arya Prasetya (External Relations Head of Parisadha Buddha Dharma Niciren Syosyu Indonesia (NSI), Dosen Sekolah Tinggi Agama Buddha (STAB) Samantabadra-NSI dan Ketua Generasi Muda Parisadha Buddha Dharma Niciren Syosyu Indonesia (NSI)

  • Bagikan